HUBUNGAN ‘PELA’ DI MALUKU-TENGAH DAN DI NEDERLAND
Suatu tindjauan singkat oleh Dr. Dieter Bartels
Karangan ini adalah berdasarkan penelitian anthropologis jang dilaksanakan oleh penulis selama tahun 1974-75 di Maluku sendiri dan bertolak djuga pada penemuan2 dalam penelitian jang sedang berlangsung tentang adat Maluku dan kebiasaan hidup kaum Maluku di Negeri Belanda. Djikalau kita mentjari uraian terperintji tentang sistem pela, bandinghanlah Dr. Dieter Bartels, Guarding the Invisible Mountain: Intervillage Alliances, Religious Syncretism and Ethnic Identity among Ambonese Christians and Mosleims in the Moluccas. (1977)
Pada suatu ketika, lambat atau segera kedengaran istilah ‘hubungan pela’ dalam pertjakapan2 dangan orang2 Maluku; dan tak djarang pembitjara malukku menganggap bahwa semua orang lain tahu menahu tentang pela itu. Seolah-olah dengan tiada sadar pembitjara itu mempunjai anggapan jang sedemikian itu, karena ‘hubungan pela’ itu merupakan perkara penting dalam masjarakatnja.
Tegal itu dengan muda terlupakan olehnja bahwa orang bukanmuluku tjuma paham sedikit atau sama sekali tidak tahu menahu tentang pokok itu. Nah, djikalau saudara pembatja tidal tahu banjak tentang pela itu dan mempunjai interesse terhadap pokok itu, silakan landjutkanllah pembatjaan ini. Pada halaman berikut ini saja hendak berusaha untuk memberi suatu ichtisar singkat tentang lembaga sosial maluku jang sangat menarik ini.1
Negeri2: tulang punggu Masjarakat Maluku
Setjara menjeluruh dapat dikatakan, bahwa separoh penduduk Maluku Tengah2 beragama protestan, sedangkan separohnja pula menganut agama islam. Di luar kota Ambon, kaum Maluku hidup dalam negeri2 jang entah seluruhnja beragama akristen, entah seluruhnja islam, dengan hanja satu dua pengetjualian. Negeri2 itu merupakan kesatuan2 potitik jang terbesar didalam masjarakat Maluku Tengah, djikalau kita tidak menghitung struktur aparat pemerintahan Indonesia jang didatangkan kemudian. Tiap2 negeri terdiri dari sedjumlah mata rumah; orang jang tergabung dalam satu mata rumah tidak boleh kawin dengan orang se-mata rumah; tetapi ditengah2 anggota mata rumah lain mereka boleh mentjari penganten. Rupanja kebanjakan perkawinan berlangsung dalam lingkungan satu negeri antara mata2 rumah jang berlainan didalam negeri itu.
Dari sudut ekonomi, kebanjakan negeri maluku pada umumnja masih dapat menutup kebutuhannja sendiri, chususnja dari segi penjediaan makanan. Hasil panen pertanian (tjengkih dan kopra) didjual langsung kepada para pedagang di kota dan keperluan2 modern lazimnja dibelandjai di pasar Ambon. Perdagangan antar negeri ternjata sangat terbatas. Hubungan dengan negeri2 tetangga lain kali agak tegang, malah kadang bermusuhan. Salah satu sebabnja jaitu batas/sipat antar kebun2 negeri tidak begitu ditetapkan dengan senjata2nja, lagi pula penduduk2 jang senantiaasa bertambah djumlahnja seharusnja perlu diberi makan, sehingga sering timbul perkara2 tentang tanah antara negeri2 jang berdekatan. Karena infrastruktuur (djalan2, perhubungan laut) masih belum begiitu baik, hubungan antar negeri didälam beberapa bagian dairah masih sulit.
Satu Kampung
Pendeknja, negeri2 di Maluku tengah – sama seperti pada abad2 mendahului-masih berdiri sendiri atau agak terlepas satu dari jang lain, suatu kenjataan jang lagi dikuatkan oleh rasa keterikatan masing2 kepada kampung asalnja (satu kampung). Hal itu masih kuat dirasakan djuga oleh kaum Maluku di Belanda jang sudah berpuluhan tahun berada dallam peraantauan. Pertalian itu bukan sadja merupakan suatu hubungan sentimental (perasaan) sadja, melainkan dikuatkan djuga karena kewadjiban2 sosial jang keras. Djikalau suatu negeri memerlukan bantuan, entah masjarakat negeri seanteronja entah sebagai anak2 kampung pribadi, orang2 sekampung wadjib untuk mengullurkan tangan dalam mengusahakan bantuan kepadanja. Walaupun negeri2 terpisah oleh keadaan alam satu dari jang lain dan berdiri sendiri selaku masjarakat kampung, namun suatu identitas bersama kentara di Maluku Tengah jang dapat dikemmmbangkan dan dipertahankan, hal mana sangat mengherankan sebenarnja. Lebih mengherankan lagi jaitu bahwa identitas bersama itu tidaklah terbatas pada satu pulau tertentu/daerah tertentu, melainkan sungguh mempersatukan orang dengan mengatasi batas2 pulau dan agama, sebagaimana kenjataan di Maluku Tengah.
Pela, apa itu?
Peran pokok dalam mengembangkan serta mempertahankan identitas etnis jang bersama itu seharusnja ditjari dalam sistem hubungan sosial jang disebut pela; lembaga chas Maluku jang maha penting ini mengikat hubungan diluar negerinja sendiri. Pela itu merupakan suatu relasi perdjandjian dengan satu atau lebih negeri lain jang sering berada di pulau lain dan kadang djuga menganut agama lain. Sekalipun tiap2 negeri hanja mempunjai satu atau dua pela sadja, namun effek menjeluruh daripada djaringan pela2 jang padat dan berselang seling itu adalah demikian penting, sehingga semua penduduk Maluku Tengah turut serta dalam filsafah pela itu dan dengan demikian turut serta dalam penghajatan kebersamaan itu.
Asal usul daripada pela harus ditjari pada masa lampau jang djauh2, djauh sebelum orang Eropah mendarat di pulau2 rempah2 ingin mendapatkan tjengkih dan pala. Barangkali pela sebagai sistem perhubungan perdjandjian perdjandjian itu lahir dalam rangka masjarakat jang biasa memenggal kepala musuh (potong kepala), akan tetapi pada zaman penjerbuan Portugis dan Belanda pada abad ke 16 dan ke 17, sistem pela itu dipakai untuk mempeerkuat pertahanan terhadap penjerbu2 asing dan untuk saling menolong pada saat2 genting itu.
Menurut kenjataan tjukup banjak pela jang masih bertahan sampai hari ini di-mulai pada zaman itu, dengan mengikat negeri2 islam dan negeri2 kristen (jang baru sadja pindah agama ) satu dengan jang lain. Banjak pela baru pula muntjul selama peperangan hebat melawan pendjadjahan belanda, jang disebut Perang Pattimura pada awal abad ke 19. Ketika tanah Maluku mengalami kesusahan ekonomis setelah kalah dalam peperangan itu, pela tiu dimanfaatkan sebagai djalan untuk mendapatkan makanan; untuk itu banjak negeri jang susah makanan di Ambon-Lease mengikat hubungan dengan negeri2 di Seram jang berlimpah sagu. Dewasa ini pela itu berkembang chususnja selaku kenjataan identitas Maluku ditengah2 keselurahan negara Indonesia dan djuga sebagai alat untuk memadjukan pengembangan dan pembangunan negeri dengan tiada bantuan pemerintah.
Tiga djenis Pela
Pada dasarnja tiga djenis pela dapat ditetapkan, jakni: (1) pela karas; (2) pela gandong atau bungso; (3) pela tempat sirih. Pela keras itu timbul karena terdjadinja suatu peristiwa jang sangat penting, biasanja sehubungan dengan peperangan seperti pentjurahan darah, peperangan jang tak membawa penentuan (tiada jang kalah, tiada jang menang), atau bantuan chusus dariipada satu negeri kepada negeri lain. Pela djenis kedua (pela gandong atau bungso)dalah berdasarkan ikatan turunan, artinja, satu atau lebih banjak mata rumah dalam negeri2 jang berpela itu, menganggap diri sebangi satu turunan, hal mana di-alihkan kepada negeri2 seanteronja, ketika perdjandjian pela diadakan. Pela tempat sirih itu diadakan setelah suatu peristiwa jang tidak begitu penting berlangsung, umpamanja: memulihkan damai kembali sehabis suatu insiden ketjil atau setelah satu negeri adalah berdjasa terhadap lain negeeri. Pela djenis ketiga ini djuga ditetapkan untuk memperlantjar hubungan perdagangan.
Dalam segala hal fungsi pela keras dan pela gandong’bungso adalah sama. Kedua2-nja ditetapkan oleh sumpah keras jang disertai kutuk dahsjat jang akan kena siapa sadja jang melanggar perdjandjian itu. Suatu tjampuran tuak dan darah jang diambil dari tubuh pemimpin kedua fihak itu, dimimum kedua fihak itu setelah sendjata2 dan alat2 tadjam lain ditjelupkan didalamnja. Alat2 itu hendak melawan dan membunuh setiiap orang siapapun djuga jang melanggar perdjandjian. Penukaran darah memeteraikan persaudaraan itu.
Azas2 Pela
Tegal itu pela dianggap sebagai suatu ikatan persaudaraan antara semua penghuni negeri sebelah menjebelah, jang berlangsung terus menerus dan dianggap sutji. Empat hal azasi mendjadi dasar pela, jang adalah sbb:
(1.) negeri2 jang berpela itu berkewadjiban untuk saling membantu pada masa genting (bentjana alam, peperangan dll.);
(2.) djika diminta, maka negeri jang satu itu wadjib memberi bantuan kepada negeri jang lain jang hendak melaksanakan projek2 demi kepentingan kesedjahteraan umum, seperti umpamanja: pembanguanan rumah2 geredja, mesdjid; dan sekolah;
(3.) djikalau seorang mengundjungi negeri jang berpela itu, orang2 negeri itu wadjib untuk memberi makanan kepadanja; tamu jang sepela itu tidak usah minta izin untuk membawa pulang apa2 dari hasil tanah/buah2-an menurut kesukaannja;
(4.) sem penduduk negeri2 jang berhubungan pela itu dianggap sedarah; sebab itu dua orang jang sepela itu tidak boleh kawin karena dipandang sumbang. Tiap pelanggaran terhadap aturan itu akan dijukum keras oleh nenek mojang jang mengikrarkan pela itu. Tjontoh2 penghukuman jaiitu sakit, mati dan kesusahan lain jang kena orang pelanggar sendiri ataupun anak2nja. Djikalau mereka jang melanggar pantangan kawin itu, ditangkap mereka disuruh berdjalan mengelilingi negeri2nja, dengan hanga berpakaian daun2 kelapa sedangkan penghuni negeri mentjaki makinja. Sebaliknja pula pela tempat sirih diadakan dengan tiada bersumpah, hanja dengan menukkar dan mengunjab sirih bersama, suatu kebiasaan adat untuk mengaitkan persahabatan antara orang jang tidak mengenal satu sama lain. Memang pela tempat sirih itu sebetulnja merupakan suatu perdjandjian persahabatan. Kawin-mengawin diperbolehkan dan segala tolong menolong itu adalah bersifat sukarela dan tidak dituntut mutlak karena antjaman penghukuman nenek2 mojang.
‘Bikin panas’ Pela
Supaja pela itu tetap hidup dan supaja anak2 muda disadarkan kewadjibannja, banjak negeri jang berpela itu, mengusahakan pada waktu2 tertentu suatu upatjara ‘bikin panas pela’. Pada kesempaten itu orang2 dari negeri2 jang bersangkutan berkumpul selama satu minggu dalam salah satu negeri untuk merajakan hubungan persatuannja demgan membaharui sumpahnja, bersukatjita sambil menjanji dan melakukan tari2an.
Sistem pela sebagaimana diuraikan diatas ini masih berperan penting di Maluku Tengah. Karena rasa persatuan dan identitas bersama disadari dan dihajati dengan kuat sebagaimana telah disinggung taki, upatjara2 pembaharuan pela masih sering berlangsung. Sedjak Perang Dunia II sedjumlah pela baru, kebanjakan pela tempat sirih, ditetapkan, sering kali antara negeri2 islam dan kristen sebagai usaha jang agaknja diadakan dengan sadar, untuk menguatkan hubungan antara dua golongan itu. Malah dapat dikatakan bahwa berkat sistem pela itu, pertentangan antara kaum muslimin dan kaum kristen tidak dapat berkembang, hal mana adalah sangat berlainan dengan keadaan perhubungan antara kedua ummat beragama itu di tempat2 lain di muka bumi ini. Sebagai kenjataan banjak gedung geredja mesdjid dan sekolah sempat dibangun karena bantuan daripada pela jang menjumbang tenaga kerdja, bahan bangunan, uang dan/atau makanan bagi pekerdja2, sehingga usaha2 itu dapat terlaksana dengan tiada sumbangan apapun dari pemerintah.
Pela di Negeri Belanda
Hubungan pela di-tengah2 kaum Maluku jang hidup di Nederland ini tetap kuat. Keadaan disini tentu adalah lebih rumit (komplex) karena orang2 sepela itu atjapkali hidup dalam masjarakat (wijk) jang sama sehingga sering atau hampir seban hari berdjumpa dengam orang sepela itu, padahal di Maluku Tenggara orang sepela itu hidup berdjauh2an dan djarang bertemu. Karena itu seharusnja diambil tinkakan2 chusus untuk mendjaga supaja anak2 muda jang sepela itu djangan djatuh tjinta satu sama lain! Orang2 sepela itu ditundjuk dan diperkenalakan pada upatjara2 keluarga, seperti baptisan, peneguhan sidi, perkawinan dan pemakaman; berikutnja anak2 muda dinasehati untuk bergaul dengan orang sepela sama seperti dengan saudara2 sungguh. Perlu ditjatat pula behwa orang2 Maluku di Belanda menghitung pela tidak sama dengan orang2 Maluku di Indonesia. Di Maluku sana pela diturunkan dari keluarga ajah, artinja pela jang dihitung adalah pela negeri ajah. Dasarnja adalah aturan sosial, bahwa perempuan kalau kawin meninggalkan mata rumahnja dan bergabung dengan mata rumah laki2. Penggabungan itu berlangsung setelah pengantin laki2 talah membajar harta kawin dan perempuan dengan resmi diterima oleh mata rumah laki2 didalam rumah tua melalui upatjara kawin adat. Semua anak jang dilahirkannja kemudian terhitung sebagai anggota mata rumah suaminja sadja; anak2 itu pula dituntut untuk menghormati pela daripada negeri ajahnja jang beasanja hanja satu atau dua, malah ada negeri jang mempunjai tudjuh ikatan pela.
Sulit mentjari djodoh
Di negeri Belanda ini saudara2 Maluku bukan sadja menghitung pela ajahnja melainkan djuga pela ibunja dan lagi pela daripada keempat neneknja, malah ada menghitung djuga generasi sebelumnja lagi. Oleh karena itu satu oknum achirnja dapat mentjapai suatu djumlah hubungan pela jang tjukup tinggi, hal mana sangat membatasinja untuk mentjari djodohnja; hal itu mungkin mendjadi suatu alasan bagi anak2 Maluku jang djumlahnja makin bertambah untuk mentjari djodoh diluar masjarakat Maluku sendiri.
Lagi suatu perbedaan peenting jang kami tjatat adalah sbb. Di kepulauan Maluku sendiri kedua fihak dalam pela itu biasanja berhubungan pada tingkat negeri, artinja kedua pemerintah negeri berhubungan, seddangkan di Negeri Belanda orang2 jang tergolong pada satu pela hampir selalu selaku pribadi berhubungan. Namun bilamana suatu negeri jang berpela di Maluku itu minta bantuan, lazimnja kumpulan negeri di Belanda akan mentjari dan mengirim uang kesana.
Achirnja di Negeri Belanda djuga pela itu merupakan suatu symbol penting daripada identitas dan persatuan Maluku dan oleh sebab itu pela itu mempenjai suatu nilai perasaan jang amat besar bagi kebanjakan orang Maluku. Hal itu disebabkan sebagian besar oleh karena sistem pela itu adalah sesuatu lembaga chas Maluku jang tiada setjaranjz dan kebanggaan jang adalah sangat penting untuk bertahan sebagai golongan bangsa sendiri di-tengah2 suatu masjarakat jang terdiri dari banjak golongan2 bangsa.
(3diterdjemahkan langsung daripada bahasa Inggeris)
Notes:
1. Tjatatan: Disini saja tjuma berbitjara tentang pela di Maluku Tengah. Perlu ditjatat lagi, bahwa di kepulauan Kei dan Tanimbar dan di beberapa kepulauan ketjil lainnja terdapat djuga lembaga2 ikatan sosial jang ada perssamaan dengan pela di Maluku Tengah itu. return ^
2 Tjatatan: Istilah ‘Maluku Tengah’ sebagaimana dipergunakan disini, mentjakup pulau Ambon, Haruku, Saparua, Nusulalut dan pantai barat Seram, jang seluruhnja satu daerah kebudajaan. return ^
3 Mereka itu (jang dimaksud jaitu kaum Malukudi Belanda) dapat bertahan karena berpegang kuat pada geredja dan adat, lebih huat daripada mereka perbuat pada waktu sebelumnja. Th . Kuhuwael (dikutip dari G. Heeringa, Amboina-Ambon, p. 47) return ^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar