ASAL USUL TERBENTUKNYA KAMPUNG LATTA
G.F RUMPHIUS (1653-1702) seorang peneliti dan penulis yang berdiam di Ambon hampir setengah abad lamanya dalam catatan pada bukunya "Ambon Sche Landbeschrijving" mengatakan bahwa Lateri-Latta dahulu adalah sebuah dusun kecil dan berada dibawah kekuasaan Negeri Halong. Dusun ini penuh dengan hutan cengkeh dan pohon sagu. Negeri Halong pada waktu lalu sangat berkuasa dan menguasai kekuatan lautan (Teluk Ambon).1
Orang - orang Latta dan Lateri menuturkan bahwa Datuk - datuk atau moyang mereka merupakan penduduk pendatang. Mereka berasal terutama dari Pulau Saparua dan Negeri Soya di Pulau Ambon dan moyang pertama yang tiba di dusun Latta berasal dari marga Latununuwey (Latumanuwy). Pengertian Latumanuwy yaitu "Raja Burung" (Latu : Raja dan Manu : Burung). Diceritakan bahwa Latumanuwy dikirim oleh Raja Latuselemau dari Soya untuk mengawasi wilayah Soya yang berbatasan dengan Halong. Latumanuwy kemudian berpikir untuk menetap saja di tempat ia bertugas. Cita - citanya dikabulkan oleh penguasa Negeri Halong dan diberi sebuah dusun untuk menetap yang diberi nama Dusun Latta yang artinya "tanah yang miring" (pada lereng bukit). Lama kelamaan datang pendatang baru dan berdiam di Latta dan Lateri terutama dari Pulau Saparua.2
Para pendatang kebanyakan adalah orang - orang Borgor(burger) atau dalam bahasa Melayu abad ke-19 diterjemahkan sebagai "aurang beybas" yaitu orang - orang atau penduduk negeri yang mendapat hak dan kebebasan dari Kompeni/ Pemerintah Belanda.
Sehubungan dengan tempat tinggal orang - orang borgor ini, sejarawan Germen Boelens, Chris van Fraassen dan Hans Straver mencatat bahwa banyak tempat yang terletak di binn enbaai van Ambon atau Teluk Ambon bagian dalam, seperti Galala, Halong, Latta, Lateri, Passo, Negeri Lama, Nania, Hunut, Poka, dan Rumahtiga. Pada umumnya didirikan sebagai Burgerkampongs. Sampai pada abad ke-19 di Pulau Ambon (termasuk Latta) terdaftar sekitar 8.000 burger karena kawin - mawin.3
Struktur dan sistem pemerintahan berawal dari mas VOC sampai masa Hindia Belanda (1817-1942).
Dapat dikatakan bahwa pada awalnya pemerintahan kampung Lattta dikepalai oleh seorang Wijkmeester. Kemudian oleh seorang Kepala Kampung. Kampung Latta masih berada dibawah kekuasaan Negeri Halongdan kepala kampung secara adat tradisional tetap dijabat oleh marga Latumanuwy. Para kepala kampung yang pernah memimpin Latta antara Lain :
Orang - orang Latta dan Lateri menuturkan bahwa Datuk - datuk atau moyang mereka merupakan penduduk pendatang. Mereka berasal terutama dari Pulau Saparua dan Negeri Soya di Pulau Ambon dan moyang pertama yang tiba di dusun Latta berasal dari marga Latununuwey (Latumanuwy). Pengertian Latumanuwy yaitu "Raja Burung" (Latu : Raja dan Manu : Burung). Diceritakan bahwa Latumanuwy dikirim oleh Raja Latuselemau dari Soya untuk mengawasi wilayah Soya yang berbatasan dengan Halong. Latumanuwy kemudian berpikir untuk menetap saja di tempat ia bertugas. Cita - citanya dikabulkan oleh penguasa Negeri Halong dan diberi sebuah dusun untuk menetap yang diberi nama Dusun Latta yang artinya "tanah yang miring" (pada lereng bukit). Lama kelamaan datang pendatang baru dan berdiam di Latta dan Lateri terutama dari Pulau Saparua.2
Para pendatang kebanyakan adalah orang - orang Borgor(burger) atau dalam bahasa Melayu abad ke-19 diterjemahkan sebagai "aurang beybas" yaitu orang - orang atau penduduk negeri yang mendapat hak dan kebebasan dari Kompeni/ Pemerintah Belanda.
Sehubungan dengan tempat tinggal orang - orang borgor ini, sejarawan Germen Boelens, Chris van Fraassen dan Hans Straver mencatat bahwa banyak tempat yang terletak di binn enbaai van Ambon atau Teluk Ambon bagian dalam, seperti Galala, Halong, Latta, Lateri, Passo, Negeri Lama, Nania, Hunut, Poka, dan Rumahtiga. Pada umumnya didirikan sebagai Burgerkampongs. Sampai pada abad ke-19 di Pulau Ambon (termasuk Latta) terdaftar sekitar 8.000 burger karena kawin - mawin.3
Struktur dan sistem pemerintahan berawal dari mas VOC sampai masa Hindia Belanda (1817-1942).
Dapat dikatakan bahwa pada awalnya pemerintahan kampung Lattta dikepalai oleh seorang Wijkmeester. Kemudian oleh seorang Kepala Kampung. Kampung Latta masih berada dibawah kekuasaan Negeri Halongdan kepala kampung secara adat tradisional tetap dijabat oleh marga Latumanuwy. Para kepala kampung yang pernah memimpin Latta antara Lain :
- Yosias Latumanuwy
- Frederik Latumanuwy
- Yulius Latumanuwy
- Karel Latumanuwy
- Robert Rikumahu
Pada 7 Desember 1995, kampung Latta terlepas dari kekuasaan pemerintahan Halong dan berubah menjadi desa definif. Saat itu status kepala kampung disandang oleh Robert Rikumahu berubah menjadi Kepala Desa. Kemudian pada tanggal 6 Mei 2005 diadakan pelantikan kepala desa baru dan dijabat oleh K. A. Latumanuwy (2005-5011).
Bagaimana kedudukan Desa Latta sesuai UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Perda Kota Ambon tentang status dan kedudukan negeri - negeri adat dan kampung - kampung dalam Kota Ambon akan disesuaikan nanti.
catatan referensi:
1.Rumphius, G. E; Ambonsche Landbesehijiving, suntingan DR. Z. J. Manusama, Arsip Nasional RI, Jakarta 1983 hal. 65-66.
2.Pattikayhatu, J. A; Sejarah Asal Uasul dan Terbentuknya Negeri - negeri di Pulau Ambon, Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, Ambon 1997 hal 96-97.
3.Alyona, Cornelis;Sejarah Negeri Passo dan Perkembangan masyarakatnya, Aspek Keagamaan;Dalam negeri Passo (Kajian Sejarah, Budaya dan Agama) Passo 2004 hal. 61-63.
dikutip dari seminar oleh Prof. J. A. Pattikayhatu
Bagaimana kedudukan Desa Latta sesuai UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Perda Kota Ambon tentang status dan kedudukan negeri - negeri adat dan kampung - kampung dalam Kota Ambon akan disesuaikan nanti.
catatan referensi:
1.Rumphius, G. E; Ambonsche Landbesehijiving, suntingan DR. Z. J. Manusama, Arsip Nasional RI, Jakarta 1983 hal. 65-66.
2.Pattikayhatu, J. A; Sejarah Asal Uasul dan Terbentuknya Negeri - negeri di Pulau Ambon, Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, Ambon 1997 hal 96-97.
3.Alyona, Cornelis;Sejarah Negeri Passo dan Perkembangan masyarakatnya, Aspek Keagamaan;Dalam negeri Passo (Kajian Sejarah, Budaya dan Agama) Passo 2004 hal. 61-63.
dikutip dari seminar oleh Prof. J. A. Pattikayhatu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar